QUICK COUNT: SANG PENYESAT

Oleh Agus Wahid Kubu
Prabowo-Gibran sudah sorak-sore. Merasa telah memenangkan pemilihan presiden (pilpres). Landasannya, hasil perhitungan cepat (quick count) yang tertayang di televisi Pemilu. Angkanya cukup fantastik: jauh di atas 50%. Berarti, menang satu putaran. Kini, kita perlu menganalisa lebih jauh, bagaimana validitas hasil quick qount (QC) itu? Apakah suara QC diperoleh per hari ini (beberapa jam setelah selesai pemungutan suara) bisa dipercaya? Dan yang lebih mendasar, apakah penentuan kemenangan pilpres atas dasar QC? Bicara validitas, secara teoritik, QC bagian dari metode survey. Dengan pendekatan statistik, data angka yang diperoleh notabene tergolong ilmiah. Harusnya bisa dipertanggang-jawabkan. Tapi, yakinkah? No. Sebagai kegiatan survey, validitas dan tidaknya sangat tergantung desainnya. Dengan pendekatan random, maka titik acak ini bisa “dimainkan”. Minimal sudah dikondisikan. Atau, dibaca lebih awal: kantong-kantong mana yang dinilai “seirama” dengan kepentingan surveyor. Itulah sebabnya, para tokoh lembaga surveyor, sekitar dua atau tiga tahun lalu, pernah ditantang oleh salah satu dosen UI untuk uji validitas. Dan mereka tak berani menghadapi. Pengecut. Atau, takut kelicikan dan kedustaannya terbongkar. Membaca desain survey, kita saksikan di lapangan: ada perbedaan hasil di antara lembaga-lembaga survey. Dan perbedaan ini sangat tergantung dari rancangan. Hal ini sangat tergantung pula pada apakah surveynya pesanan atau obyektif. Membaca hasil survey yang ada, kita saksikan lembaga-lembaga survey seperti LSI, INDICATOR, BAROMETER, POLTRACKING dan “konco-konconya” sangat kontras perbedaannya dengan hasil lembaga survey yang murni terpanggil untuk mencari data obyektif yang banyak dilakukan sejumlah lembaga survey dari berbagai kampus yang berintegritas. Yang memprihatinkan adalah, hasil survey pesanan yang telah dipersiapkan beberapa pekan bahkan bulan sebelumnya dijadikan “tabungan” yang siap dihembuskan pada momentum yang tepat. Dan kita saksikan, beberapa jam usai pencoblosan, QC ditayangkan secara massif, berskala nasional. Sekali lagi, kita perlu pertanyakan, apakah data suara QC itu hasil “tabungan”, atau memang up date per hari ini? Jika per hari ini, kita perlu mempertanyakan, apakah seluruh lembaga survey yang terkenal sebagai buzzer rezim ini telah mengerahkan 823.220 orang “kaki-tangannya” untuk siap merekam dan memposting seluruh hasil suara per TPS secara nasional dan mancanegara itu? Luar biasa, jika lembaga survey punya jaringan sebanyak itu. Jika memang telah mempersiapkan SDMnya, berapa biaya yang harus digelontorkan? Jika per “kaki tangannya” berhonor Rp 1000.000,- (jasa profesi, konsumsi dan transportasi), maka segerombolan lembaga survey buzzerist itu harus merogoh Rp 823.220.000.000,- Biaya ini masih perlu ditambah dengan penambahan alat QC yang memang tidak murah. Setidaknya, tak kurang dari angka kisaran Rp 1,5 triliun. Konsekuensi dana tersebut tentu berat bagi lembaga-lembaga surveyor “mukidi” itu. Namun demikian, persoalan anggaran bisa dinilai sangat kecil jika disodorkan ke capres-capres 02 itu, apalagi biayanya bisa dimasukkan dalam komponen dana “bansos” dan atau “serangan fajar”. Informasi yang berendus ke publik, memang telah disiapkan angka kisaran Rp 1.000 trilun. Uang siapakah itu? Dari mana lagi kalau bukan dari “menimpe” uang negara/rakyat. APBN gitu lho… Mumpung masih masih “kuoso”. Sekali lagi, jika lembaga-lembaga surveyor “mukidi” itu tak ada anggaran taktis di lapangan itu, maka patut dicurigai bahwa perolohen suara QC itu memang hasil survey tabungan. Ini berarti, sebuah manipulasi sistimatis yang sangat tendensius. Lebih dari itu, tayangan QC sungguh invalid, meski notabene mendasarkan metode ilmiah. Lalu, mengapa harus menggencarkan QC? Inilah yang harus dibaca. Yaitu, QC dirancang sebagai strategis membangun opini. Dirancang sebagai pembenaran dan daya paksa KPU untuk mengeluarkan suara sesuai skenario para designer survey ala mukidi itu. Setidaknya, rakyat akan percaya Ketika KPU akhirnya menyuguhkan hasil akhir sesuai QC. Yang dimainkan juga bukan sekedar tayangan angka suara, tapi ulasan kritis dari para aktor lembaga-lembaga survey. Untuk memperkuat atau memvalidasi QC. Dan inilah strategis membangun persepsi: masyarakat menjadi percaya atas tayangan QC itu. Haruskah dipercaya? No. Di lapangan, kita jumpai, proses perhitungan suara di setiap TPS sampai selesai direkapitulasi dan disahkan oleh para petugas KPPS, disaksikan para pengawas – secara umum – baru selesai pertengahan malam. Selanjutnya, melangkah ke PPS Kecamatan, lanjut ke Kabupaten/kota, Provinsi dan akhirnya ke KPU Pusat. Maka, bagaimana mungkin, QC bisa dinilai valid? Mata rantai penghitungan suara yang melalui beberapa tahab dan jarak, bahkan penghitungan ulang di setiap “halte” itu, QC jelaslah sangat tdak sesuai dengan fakta. Karena itu, QC sungguh menyesatkan sebagai sistem penghitungan. Di sejumlah negara, QC tak dipakai lagi. Hanya menjadi pekerjaan yang redundant. Sebab, akhirnya toh yang berlaku real count (RC), bukan QC. Memahami cara kerja QC dengan sejumlah “pernak-pernik” bulshitnya, seluruh masyarakat pemilih di Tanah Air ataupun di luar negeri tak perlu percaya terhadap gerakan sublimasi yang membodohi itu. Bagi pasangan 01 ataupun 03 dan seluruh pendukungnya tak perlu gusar, apalagi panik. Biarkan 02 berjingkrak-jingkrak merayakan kemenangan semu itu. Masih ada waktu yang – insya Allah – membalikkan keadaan. Namun demikian, barisan 01 dan 03 perlu mengambil hikmah. Amati sejumlah kejanggalan. Persiapkan tindakan konkret secara hukum. Kalau perlu, tindakan nyata secara barbar jika menjumpai kejahatan mencurangi angka perolehan suara. Agar terjadi efek jera. Dan ini pembelajaran politik. Mendasarkan pilpres saat ini adalah penentu masa depan negeri dan bangsa ini, maka tak ada kata yang pantas untuk menghadapi manusia-manusia biadab yang memamipulasi perolehan angka dan pencurangan lainnya. Sekedar contoh faktual, di TPS 34, Kelurahan Cempaka Timur, Kecamatan Rengas, Tangerang Selatan - Banten terjadi sublimasi jumlah suara: paslon 02 mendapat 86 suara. Diubah, menjadi 886 suara. Mungkinkah per TPS lebih dari 400 orang pemilih? Ada lagi di TPS 27 Pari-pari, Desan Wagon, Kabupaten Fak-fak (Papua Barat). Paslon 02 memperoleh suara 116 suara. Di KPU – dengan sistem aplikasi yang telah disiapkannya – berubah menjadi 1156. Wow, fantastik. Kita perlu mencatat, modus seperti ini akan bermunculan. Maka, atas nama masa depan negeri dan bangsa ini, barisan 01 dan 03 harus terpanggil untuk melakukan perlawanan tegas. Perang adalah keniscayaan yang tak bisa hindari. Bersama para purnawirawan yang telah mengikrarkan diri untuk negara, seluruh elemen bangsa ini haruslah menyatu menghadapi kekuatan rezim “barbar”. Inilah hikmah yang dapat dipetik dari QC yang terburu nafsu pingin berkuasa. Ciputat, Tangerang Selatan, 15 Februari 2024, jam 0:45 Penulis: analis politik