Terkuak, Wakil Menteri Yang Rangkap Jabatan Adalah Kejahatan Korupsi

Larangan itu mencakup menjadi pejabat negara lain, komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun perusahaan swasta, serta pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN atau APBD. Namun, aturan tersebut tidak secara eksplisit menyebut larangan serupa bagi wakil menteri, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktiknya.
“Kalau dilihat dari sisi hukum, kita perlu merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019,” ujar Saleh saat dihubungi Tirto, Rabu (4/6/2025).
Saleh menjelaskan, dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, khususnya pada halaman 96, Mahkamah secara tegas menyatakan bahwa larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008, juga seharusnya berlaku bagi wakil menteri.
“Putusan MK itu mengikat tidak hanya pada amar putusan. Karena dia Pejabat Negara, diangkat oleh Presiden, bertanggung jawab kepada Presiden dan Menteri, maka larangan yang diatur dalam pasal 23 Undang-Undang No 39 Tahun 2008, itu harus dimaknai juga menjadi larangan bagi wakil menteri,” ujarnya.
Tak hanya itu, Saleh juga menyoroti aspek etika dan prinsip tata kelola yang diatur dalam regulasi lainnya. Misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa setiap pejabat pemerintahan wajib menaati asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain mencakup kapasitas yang memadai, bebas dari konflik kepentingan, dan larangan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). “Nah ini kan norma yang memang tidak eksplisit, tetapi bisa menjadi prinsip panduan penyelenggaran pemerintahan,” ujarnya.
Ia juga mengacu pada Tap MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang menekankan pentingnya integritas dalam penyelenggaraan jabatan publik, termasuk dalam pengambilan keputusan dan keterlibatan dalam aktivitas ekonomi. Menurutnya, kaburnya batas antara peran pengambil kebijakan dan pelaku bisnis merupakan ancaman serius bagi prinsip good governance.
Lebih jauh, Saleh mempertanyakan apa sebenarnya yang membedakan secara prinsipil antara menteri dan wakil menteri dalam hal tanggung jawab dan wewenang. “Keduanya adalah pejabat negara yang sama-sama bisa merumuskan dan mengambil kebijakan. Maka, larangan yang berlaku untuk menteri mestinya juga berlaku bagi wakil menteri,” pungkasnya.
Menukil situs resmi MK, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES), Juhaidy Rizaldy Roringkon, menilai kekosongan norma dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, khususnya terkait larangan bagi wakil menteri untuk merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN, telah menciptakan ketidakpastian hukum dan berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.
Atas dasar itu, Juhaidy mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 23 UU Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi.
“Pertimbangan hukum MK Nomor 80 Tahun 2019 yang telah secara tegas melarang rangkap jabatan wakil menteri tetapi hal ini tidak dilaksanakan oleh Pemerintah dan semua pihak yang berkepentingan. Bahwa ketidakpastian hukum dan ketidakadilan ini terjadi karena tidak diamarkannya larangan rangkap jabatan wakil menteri tetapi hal ini tidak dilaksanakan oleh pemerintah dan seluruh pihak yang berkepentingan," ujar Juhaidy, Selasa (5/5/2025) dilansir dari situs resmi MK.
Ia menambahkan, tidak adanya norma eksplisit yang melarang wakil menteri untuk menduduki jabatan komisaris telah menyebabkan praktik rangkap jabatan semakin dianggap lumrah dalam struktur penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini berpotensi menciptakan konflik kepentingan, terutama ketika wakil menteri sebagai pejabat publik juga menerima penghasilan dari perusahaan yang diawasi negara.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, ia meminta MK menyatakan frasa “Menteri” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 Kementerian Negara bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Menteri dan Wakil Menteri”.
Sehingga Pasal 23 UU Kementerian Negara menjadi berbunyi:
“Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah,” seperti yang dikutip dari situs resmi MK.
Kritik tajam terhadap praktik rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN turut disampaikan oleh Direktur Next Policy, Herry Gunawan. Menurutnya, praktik ini seolah didorong oleh euforia pasca-berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang mengubah status hukum BUMN menjadi badan hukum privat.
“Mungkin pemerintah beralasan, karena BUMN saat ini berstatus sebagai badan privat -dalam arti tidak ada kepemilikan pemerintah secara langsung- lantaran sudah ke Danantara, maka wakil menteri ramai-ramai jadi komisaris,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (4/6/2025).
Ia memaparkan tiga alasan utama mengapa rangkap jabatan wakil menteri ini tidak bisa dibenarkan. Pertama, terdapat benturan kepentingan yang jelas karena wakil menteri, sebagai regulator, merangkap sebagai komisaris yang merupakan bagian dari operator. Hal ini dapat membuka celah bagi disfungsi pengawasan dan penyembunyian pelanggaran di perusahaan.
“Kedua, UU Kementerian Negara No. 39 Tahun 2008 sudah jelas melarang Menteri menjadi komosaris atau direksi di perusahaan negara atau perusahaan swasta (privat) (Pasal 23),” katanya.
Ketiga, praktik ini berpotensi menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat karena kedekatan antara pejabat publik dan kepentingan korporasi. Lebih jauh, Herry menyebut praktik ini bukan sekadar gratifikasi atau pelanggaran etik biasa. Ia menilai, dalam konteks tertentu, rangkap jabatan oleh pejabat negara di perusahaan yang diawasi atau berhubungan langsung dengan kementeriannya dapat dikategorikan sebagai bentuk suap terselubung.
“Dengan alasan itu, menurut saya, rangkap jabatan para menteri itu merupakan bentuk suap perusahaan/swasta kepada pejabat negara. Lebih dari sekadar gratifikasi,” ujarnya.
Ada 23 wakil menteri yang merangkap jabatan di berbagai perusahaan BUMN. Berikut daftarnya:
1. Wamen Komdigi Nezar Patria: Komut Indosat
2. Wamen Komdigi Angga Raka Prabowo: Komut Telkom Indonesia.
3. Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo: Komisaris BRI
4. Wamen BUMN Aminuddin Ma'ruf: Komisaris PLN
5. Wamen BUMN Dony Oskaria: Wakil Komut Pertamina
6. Wamenkeu Suahasil Nazara: Wakil Komut PLN
7. Wamen Imigrasi dan Pemasyarakatan Silmy Karim: Komisaris Telkom
8. Wamentan Sudaryono: Ketua Dewas Perum Bulog
9. Wamendag Dyah Roro Esti: Komut PT Sarinah
10. Wamen P2MI Christina Aryani: Komisaris PT Semen Indonesia
11. Wamenhan Donny Ermawan Taufanto: Komut PT Dahana
12. Wamensesneg Juri Ardiantoro: Komut PT Jasamarga
13. Wamendukbangga Isyana Bagoes Oka: Komisaris PT Dayamitra Telekomunikasi
14. Wamendes PDT Ahmad Riza Patria: Komisaris Telkomsel
15.;Wamen LH Diaz Hendropriyono: Komut Telkomsel
16. Wamenkes Dante Saksono Harbuwono: Komisaris PT Pertamina Bina Medika IHC
17Wamen ATR/BPN Ossy Dermawan: Komisaris Telkom
18. Wamen PKP Fahri Hamzah: Komisaris Bank BTN
19. Wamen Kelautan dan Perikanan Didit Herdiawan Ashaf: Komut PT Perikanan Indonesia
20. Wamen ESDM Yuliot Tanjung: Komisaris Bank Mandiri
21. Wamenhub Suntana: Komut PT Pelabuhan Indonesia
22. Wamen PU Diana Kusumastuti: Komut PT Brantas Abipraya
23.Wamen UMKM Helvi Yuni Moraza: Komisaris Bank BRI.
Artikel ini ditayangkan di Tirto.id