Isra' Mi'raj Dan Realita Ummat

Isra'  Mi'raj  Dan Realita Ummat

Oleh Imam Shamsi Ali* 

Sebagaimana berbagai peristiwa sejarah lainnya yang terjadi dalam perjalan Islam, Isra Mi’raj Rasulullah SAW sesungguhnya tidak bisa dipastikan kapan persis terjadinya. Namun demikian, tanggal 27 Rajab banyak diyakini sebagai malam terjadinya teristiwa penting dan bersejarah itu. Malam di saat Allah memberikan hadiah terbaiknya bagi hambaNya (abdahu), nabi dan Rasul terakhir Muhammad SAW yang diutus untuk alam semesta (rahmatan lil alamin).

Isra dan Mi’raj adalah dua kata yang mendiskripsi perjalanan itu. Isra’ dimaknai sebagai perjalanan di malam hari. Sementara Mi’raj dimaknai sebagai jalan menuju ke atas (pergerakan secara vertikal). Dengan demikian Isra dan Mi’raj adalah peristiwa ketika Rasulullah diperjalankan oleh Penciptanya dari Masjidil Haram di Mekah ke masjidl Aqsa di Jerusalem, lalu dari Jerusalem diperjalankan ke atas (vertikal) menuju Sidratul Muntaha (akhir dari segala akhir dari alam semesta). 

Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah peristiwa imani (keimanan). Peristiwa yang melibatkan secara langsung, sekaligus menjadi ujian keimanan bagi umat. Karenanya di saat Allah menceritakan peristiwa ini di Surah An-Najam, Allah menekankan bahwa apa yang disampaikan oleh Muhammad bukan dari dirinya sendiri (karangan atau dongeng). Tapi memang wahyu dari Allah SWT (An-Najm: 3-4). Hal ini diperkuat dengan ekspresi kemaha sempurnaan Allah (subhana) yang memperjalankan hambaNya itu. Maka mempertanyakan peristiwa Isra dan Mi’raj adalah bentuk mempertanyakan kekuasaan dan kesempurnaan Allah SWT. 

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj memang sebuah peristiwa yang penuh dengan kemukjizatan. Karena peristiwa ini memang dimaksudkan untuk memberikan kekuatan dan kemenangan “morale” kepada Rasulullah di tengah tantangan berat yang dihadapinya. Pemboikotan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah) yang juga berujung pada wafatnya isteri dan paman tercinta menjadikan Rasulullah semakin tertekan dan tersudutkan dalam pergerakan dakwahnya. Bahkan ikhtiar untuk mendakwahkan agama ini ke Thaif juga berakhir dengan tantangan yang luar biasa.

Semua itu menjadikan situasi begitu berat dan menyedihkan bagi beliau. Maka tahun itu juga beliau sebutkan sebagai tahun kesedihan (‘aamul huzni). Kesediaan karena wafatnya dua pendukung utama beliau; Khadijah RA dari kalangan mereka yang beriman dan Abu Talib dari kalangan mereka yang kafir. Meninggalnya isteri dan paman tercinta beliau menjadikan musuh-musuh semakin leluasa untuk melakukan berbagai hal yang hampir saja menghabisi Rasulullah, baik secara misi bahkan hidupnya.

Kebangkitan Islam secara individual 

Merujuk kepada latar belakang peristiwa Isra’ Mi’raj kita bisa memahami bahwa perjalanan ini merupakan “spirit boost” (penguatan semangat) untuk Rasulullah SAW. Sekaligus dipahami sebagai pilar kebangkitan Islam pada tataran individual. Kebangkitan Islam pada tataran individual ditandai dengan soliditas relasi dengan Pencipta alam semesta. Bagi Rasulullah hal ini melalui peristiwa Mi’raj langsung. Dan bagi umatnya melalui sholat yang ditetapkan sebagai mi’rajnya. Sebagaimana sabda Rasul: “sholat ada Mi’raj orang yang beriman”. 

Melihat realita umat saat ini rasanya peristiwa Isra’ Mi’raj ini menjadi sangat relevan. Bahwa berbagai tantangan dan kesulitan yang dahsyat yang dihadapi oleh umat saat ini boleh saja justeru merupakan awal kebangkitan yang ditunggu-tunggu itu. Berbagai penderitaan dan kesulitan yang menerpa umat Muhammad SAW, baik di negara-negara di mana mereka sebagai minoritas maupun di negara-negara di mana mereka sebagai mayoritas, rasanya telah sampai pada puncaknya (it’s pinnacle). 

Kekejaman pemerintahan Komunis kepada masyarakat Muslim Uighur di Xingjian, pembantaian dan pengusiran saudara-Saudara Muslim Rohingyah di Burma, kezholiman kepada Saudara-saudara Muslim kita di India dan Kashmir, dan tentunya masyarakat Muslim minoritas dengan segala “oportunitas” yang ada di negara-negara Barat, masih juga menghadapi berbagai kesulitan akibat Islamophobia yang masih tinggi.

Tentu terkhusus lagi dalam tahun-tahun terakhir penderitaan Saudara-saudara kita yang berkepanjangan di Timur Tengah, khususnya di Bumi Syam, rasanya telah sampai pada titik nadir di luar daya manusia normal memahaminya. Lima puluh tahun lebih masyarakat Suriah berada di bawah kungkungan kekuasaan zholim Al-Asad. Namun pada akhirnya di akhir terowongan panjang itu mentari kini mulai menampakkan diri dengan cahayanya yang bersinar.

Mungkin realita yang paling menyedihkan dan menyakitkan adalah penderitaan dan kezholiman yang dialami oleh saudara-saudara kita di Palestina, baik di Gaza maupun di Ramallah. Saya tidak perlu lagi mengulangi penderitaan dan keperihan yang mereka alami. Tidak saja dalam hampir dua tahun terakhir. Mereka telah mengalami ini lebih dari 75 tahun. Tapi mereka tegar kokoh bagaikan karang di tengah laut menghadapi kezholiman penjajah Zionis Israel. Kesabaran dan kekuatan mereka kini mulai menampakkan titik-titik cahaya harapan. Kalaupun mereka diluluh lantakkan di negara mereka, namun mereka tidak pernah melemah. Semakin terasa kemenangan itu baik secara domestik, apalagi pada tataran global. 

Karenanya dengan memperingati Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW ini kita semakin optimis dengan janji Allah bahwa “sesungguhnya kemenangan itu dekat” dan rasanya semakin mengkristal. Dan pastinya keimanan kita memastikan bahwa: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengingkari janjiNya”. 

Dilemanya memang bukan pada musuh-musuh Islam. Tapi pada kita yang mengaku Muslim. Mengaku Muslim tapi kehilangan jati diri dan “izzah” (kemuliaan) dalam menghadapi musuh-musuh itu. Umat mengalami “inferioritas kompleks” yang parah. Merasa takut dan kalah tanpa ditakuti dan dikalahkan oleh siapapun. Melemah seolah tak berdaya melakukan hal seharusnya dilakukan untuk memenangkan umat ini. 

Secara teologis memang kita yakin bahwa musuh-musuh itu pasti akan selalu ada. Itu adalah sunnatullah dalam perjalanan keimanan umat ini. Dan itu bukan hal yang mengagetkan dan menakutkan. Yang mengagetkan dan menakutkan adalah ketika umat ini kehilangan pegangan (al-‘urwatul wutsqa). Menjadikan mereka minder, tidak punya prinsip dan rela didikte dan diarahkan bagaikan buih di tengah hempasan ombak di tengah samudra luas.

Sebelum lanjut membicarakan peristiwa berikutnya, perlu disampaikan bahwa pada tataran akademis pembahasan tentang Isra’ Mi’raj memang agak dilemma. Pertama karena rincian peristiwa ini tercatat dalam banyak riwayat hadits dari minimal dua puluh orang sahabat. Di Kitab Al-Bukhari saja ada enam orang sahabat yang meriwayatkan peristiwa ini dengan riwayat yang cukup panjang. Bahkan sebagian besar hadits di periode Mekah itu berbicara tentang Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW.

Hal kedua yang perlu dicermati adalah bahwa hadits-hadits yang meriwayatkan peristiwa Isra Mi’raj itu ada yang berbeda dalam penyampaian cerita. Maka Ulama Islam kemudian memberikan arahan bahwa ketika ada perbedaan narasi (penyampaian) tentang peristiwa itu maka cari yang paling autentik (sahih). Jika keduanya sama-sama dalam kesahihan maka usahakan dilakukan rekonsiliasi atau penafsiran yang bisa menghubungkan keduanya.

Satu hal yang dinarasikan secara berbeda oleh Hadits adalah di mana Rasulullah berada di malam ketika akan terjadi peristiwa itu? Di satu riwayat disebutkan beliau berada di Hatim (populer dengan Hijir Ismail sekarang). Namun di riwayat lain disebutkan bahwa beliau sedang di rumah dan dalam situasi antara tidur dan terbangun. Para Ulama kemudian melakukan rekonsiliasi kedua hadits itu. Bahwa di malam itu Rasulullah berada di rumahnya dan dalam keadaan hampir tertidur, lalu Jibril datang mengangkatnya ke Hatim (Hijir Ismail) untuk melakukan proses selanjutnya. Jadi sesungguhnya kedua riwayat itu tidak bertentangan. Hanya perlu rekonsiliasi penafsiran.

Namun perlu diakui juga bahwa karena peristiwa Isra Mi’raj adalah peristiwa yang sangat bersifat personal pada diri Rasulullah SAW dan tidak ada orang ketiga yang terlibat (hanya Rasulullah dan Jibril) sehingga cerita-cerita yang sampai kepada para sahabat pastinya diterima secara berbeda-beda. Namun semua itu tidak mengurangi nilai kesahihan peristiwa itu karena sebelum berbicara tentang hadits kita diyakinkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an. 

Jibril membelah dada Rasulullah SAW 

Hal pertama yang Jibril lakukan adalah membelah dada Rasulullah SAW. Pembelahan ini adalah yang kedua kalinya setelah pembelahan pertama ketika beliau masih diasuh oleh Ibu susuan beliau, Halimah As-Sa’diyah di kampung Bani Sa’ad. Walaupun ada cerita pembelahan di dua peristiwa lainnya, namun kedua pembelahan dada inilah yang paling masyhur dalam sejarah Islam. 

Menurut riwayat, Jibril membelah dada beliau dan kemudian membasuhnya dengan air zamzam. Dalam riwayat lain Jibril membelah dada beliau lalu memasukkan iman di dadanya (hatinya). Para Ulama kemudian mempertemukan tafsiran kedua tiwayat itu. Bahwa memang hati Rasulullah dibersihkan dengan air zamzam lalu diisi dengan keimanan. Karena iman hanya akan menempati tempat yang suci.

Pembelahan dan pensucian dada (hati) ini tentu memiliki makna filosofis yang dalam. Makna yang paling mendasar adalah bahwa Isra’ Mi’raj itu adalah perjalanan yang segala aspeknya terkait dengan kesucian. Dari tempat yang suci (Masjidil Haram di Mekah) ke tempat yang suci (Masjidil Aqsa di Jerusalem). Lalu dari dua kota suci itu menuju ke tempat ketinggian yang suci (Baetul Ma’muur) untuk menemui Dzat Yang Maha Suci (Al-Quddus). 

Selain itu Isra’ Mi’raj sesungguhnya juga menggambarkan perjalan hidup yang mencakup dua aspeknya. Aspek horizontal yang tersimbolkan dengan perjalanan dari Mekah ke Jerusalem. Dan aspek vertikal yang tersimbolkan dengan perjalanan dari Jerusalem ke Sidratul Muntaha. Perjalanan hidup pada dua aspeknya itu tidak akan diterima dan berkah kecuali dilakukan dengan fondasi hati yang bersih. Karenanya Al-Qur’an menggariskan: “beruntunglah dia yang mensucikan (hati)” (Al-a’laa: 14). 

Perjalanan hidup manusia menuju destinasi akhir juga tak akan sukses kecuali dengan hati yang bersih. Apapun bentuk perjalanan itu jika tidak dilakukan dengan hati yang sehat (suci) maka akan mengalami kesia-siaan. Al-Quran menegaskan: “pada hari di mana harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali dia yang datang menghadap Allah dengan hati yang sehat (saliim)”. 

Bahkan Rasulullah pun menegaskan bahwa hidup manusia akan benar dan sehat hanya ketika manusia mampu merawat hatinya untuk senantiasa sehat dan bersih. “Sungguh pada tubuh ada segumpal darah. Jika segumpal darah itu baik maka baik seluruh anggota tubuhnya. Namun jika segumpal darah itu rusak maka rusak seluruh anggota tubuhnya. Itulah hati” (hadits).

Intinya Isra Mi’raj Rasulullah adalah perjalanan suci yang menggambarkan perjalanan hidup manusia secara menyeluruh. Mencakup seluruh pergerakan hidup manusia yang jika dijalani secara benar maka akan dipahami sebagai pergerakan dari Masjid ke Masjid. Bahwa hidup manusia sesungguhnya adalah pergerakan dari satu bentuk ketaatan ke bentuk ketaatan yang lain (Masjid ke Masjid). Dari ketaatan secara ritual (Masjid) berpindah ketaatan lain pasar yang juga dimaknai masjid (tempat untuk taat). 

Dari perjalananan vertikal dengan ragam ibadah ritual menuju kepada perjalanan horizontal dengan ragam mu’amalat kehidupan duniawi. Semua itu hanya akan menjadi baik dan diterima ketika berlandaskan kepada hati yang “saliim” (sehat dan suci). 

Itulah makna dari pembelahan dan pembersihan dada Rasulullah SAW sebelum diberangkatkan oleh Dia Yang Maha Suci dari tempat kesucian (Masjid) menuju tempat kesucian (masjid) untuk selanjutnya diangkat ke kesucian yang tinggi Baetul Ma’muur untuk bertemu dengan Dia Yang Maha Suci (Al-Quddus).

Dalam realita kehidupan tentu kita tidak akan mengalami pembelahan dada untuk mensucikan itu. Namun hati harus selalu dijaga dalam kesuciannya melalui ragam jalan yang Allah telah berikan kepada kita. Satu di antaranya adalah menjaga sholat dalam kekhusyukan yang maksimal. Khusyu’ dalam Sholat itu bagaikan sedang melakukan pembedahan hati membersihkannya dari ragam kotoran kehidupan. “Beruntunglah dia yang mensucikan (hati). Dan mengingat Tuhannya dan Sholat” (Al A’laa: 4-5). 

Rasulullah SAW menyampaikan: “Sholat lima waktu menghapus dosa-dosa bagaikan sungai yang mengalir di depan rumah salah seorang di antara kalian” (HR Muslim).

Ingat, perjalanan hidup ini akan sia-sia jika hati masih penuh dengan kotoran. Bersihkan demi keselamatan dalam perjalanan hidup menuju destinasi di kesucian tertinggi, ridho Allah SWT. Karena semua kita pada akhirnya berjalan menuju padaNya: “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”. 

Setelah proses persiapan untuk perjalanan suci itu selesai dengan pembersihan dan memasukkan iman ke dadanya, Rasulullah SAW kini siap diberangkatkan. Riwayat menyebutkan bahwa seekor hewan atau dalam bahasa Arabnya “dabbah” didatangkan dari langit. Hewan ini disebutkan lebih kecil dari kuda dan lebih besar dari keledai. Berwarna putih bersih yang sangat indah dan mengagumkan.

Dabbah atau hewan ini dalam perjalanan sejarah di kemudian hari diekspresikan dalam bentuk imajinasi-imajinasi. Salah satunya digambarkan seperti kuda besar yang berkepala dengan tampakan wanita cantik. Penampakan seperti ini dalam cerita-cerita legenda karangan sebagian tentu bertujuan negatif. Mereka ingin menyampaikan bahwa Muhammad SAW itu selalu dikaitkan dengan wanita-wanita cantik. Dia adalah seorang womanizer.

Diceritakan dalam beberapa riwayat bahwa ketika Rasulullah akan menaiki punggungnya, hewan atau dabbah itu memberontak. Persis seperti seekor kuda yang akan dinaiki oleh seseorang yang asing padanya. Melihat itu Jibril menghardiknya dengan mengatakan: “celaka engkau. Tidakkah kamu tahu kalau yang akan menaikimu adalah Muhammad, Rasul yang mulia?”. Diapun menjadi tenang dan Rasulullah menaikinya dengan tenang pula. 

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa perjalanan dari masjidil Haram pun dimulai. Disebutkan pula bahwa setiap dekapan kaki hewan atau dabbah itu sekitar sejauh pandangan manusia. Begitu cepat di luar kemampuan manusia menalarnya. Terlebih lagi jika hal itu dikembalikan pada konteks masa Rasulullah SAW.

Berbicara tentang hewan atau dabbah ini, kemudian menjadi populer juga dengan penyebutan “Buraq”. Menurut sebagian riwayat, Buraq adalah hewan yang memiliki sayap dan dapat bergerak sangat cepat, sehingga mampu menempuh jarak yang sangat jauh dalam waktu singkat. Kata "Buraq" sendiri berasal dari kata Arab "al-barq", yang berarti "kilat" atau "cahaya", karena kecepatannya yang seperti kilat.

Terkepas dari berbagai penafsiran tentang Buraq (Al-Buraq) itu, yang pasti Allah memberikan alat transportasi kepada nabiNya dalam perjalanan ini. Tentu disediakannya alat transportasi ini bukan tanpa makna. Karena sekiranya Allah berkehendak, tidakkah cukup bagiNya untuk memperjalankan hambaNya melalui kuasaNya “kun fayakun”? 

Keputusan Ilahi memperjalankan hambaNya dengan alat transportasi “Buraq” merupakan pelajaran bahwa dunia akan memasuki era yang lebih kompleks. Dunia akan semakin mengglobal dan hubungan antar manusia akan semakin dekat. Salah satu hal yang secara mendasar diperlukan manusia di era global itu adalah alat transportasi yang canggih melalui eksplorasi keilmuan dan teknologi. 

Dalam perspektif keimanan dan akidah tentu kita yakini bahwa Buraq ini adalah ciptaan Allah yang pastinya secara hakikat hanya Allah yang tahu. Karena memang peristiwa Isra dan Mi’raj adalah peristiwa yang bersentuhan secara dekat dengan keimananan. Juga karena memang dalam berbagai riwayat yang ada tidak dijelaskan secara rinci tentang apa itu “dabbah” atau Buraq yang menjadi alat transportasi Rasulullah di malam itu. 

Namun jika kita mencoba menelusurinya dari perspektif ilmu pengetahuan, Buraq dapat dipahami secara metaforis atau simbolis. Ada beberapa kemungkinan penafsiran yang dapat disampaikan dalam hal ini. Tentu semua tafsiran ini hanyalah ikhtiar manusiawi untuk memahaminya. Sehingga semua tafsiran yang disampaikan tidak bisa menjadi dasar kebenaran dan keimanan.

Saya akan sampaikan sembilan penafsiran Al-Buraq dari perspektif filsafat dan keilmuan. 

Satu, representasi kecepatan dan efisiensi. Buraq dapat diibaratkan sebagai simbol kecepatan dan efisiensi, karena kemampuannya menempuh jarak yang sangat jauh dalam waktu singkat.

Dua, menunjukkan konsep fisika. Dalam fisika, Buraq dapat dihubungkan dengan konsep kecepatan, energi, dan momentum.

Tiga, Buraq juga dapat dipahami sebagai representasi dari hewan yang memiliki kemampuan unik, seperti kecepatan dan kekuatan.

Empat, secara filosofis Buraq menjadi simbol perjalanan spiritual. Hal itu karena Buraq mengantar Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan Isra Mi'raj.

Lima, Buraq dapat dipahami sebagai representasi transendensi. Hal itu dikarenakan kemampuannya melintasi batas-batas fisik dan spiritual.

Enam, Buraq dapat dipahami sebagai penjelasan tentang konsep waktu dan ruang. Hal itu tersimpulkan dari kemampuannya menempuh jarak yang sangat jauh dalam waktu singkat.

Tujuh, Buraq dapat dianggap sebagai simbol kekuatan batin, karena mengantar Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan spiritual.

Delapan, Buraq dapat diibaratkan sebagai representasi kemampuan manusia untuk mencapai tujuan yang tinggi dan melintasi batas-batas diri.

Sembilan, Buraq dapat menjadi motivasi dan inspirasi bagi manusia untuk mencapai tujuan dan pencapaian inovasi yang tinggi.

Namun sekali lagi semua penafsiran di atas adalah penafsiran-penafsiran yang bersifat relatif dan tidak bersifat mutlak. Kemutlakan selalu ada pada keyakinan kita tentang kemaha besaran Allah dalam memperjalanakan hambaNya. Termasuk di dalamnya kekuasaan Allah dalam menyediakan alat transportasi dalam perjalanan itu yang berada di luar nalar manusia. 

Artinya pemahaman akal manusia pada akhirnya harus tunduk pada penerimaan iman dan akidah dalam memahaminya. 

New York City, 29 Januari 2025 

*Direktur Jamaica Muslim Center / Presiden Nusantara Foundation