Opini: Malam Itu Ketika Sirene Meraung Di Langit Kota
Di makam sunyi itu, hanya ada desir angin dan doa-doa lirih. Tapi suara sirene malam itu, 25 Juli 1975, adalah jeritan yang membangunkan sejarah. Sirene meraung memecah malam. Istri saya, Zurtias, terbangun dengan wajah pucat.
“Pasar… kebakaran!” bisiknya terguncang, setengah berteriak.
Saya terdiam sejenak. Dunia terasa berhenti. Kemudian saya bangkit, tanpa sempat mengenakan apa-apa selain baju tidur, saya mengayuh sepeda tua. Di boncengan, anak kami yang masih kecil, terkantuk-kantuk, ikut saya bawa—karena tak mungkin saya tinggalkan di rumah.
Di jalan, suara sirene itu masih meraung, diselingi teriakan orang dan cahaya merah membakar langit. Asap menebal dari arah pasar. Saya kayuh sepeda sekuat tenaga. Nafas saya berat, tapi hati saya lebih berat lagi.
Saat sampai di pasar, api sudah menjilat dinding-dinding toko, termasuk Toko Paris, tempat kami mencari nafkah bertahun-tahun. Toko itu terkunci. Tanpa pikir panjang, entah kekuatan dari mana datang, saya dobrak papan toko itu sampai pecah. Beberapa sprai yang ada langsung saya bungkuskan ke barang-barang—yang bisa saya selamatkan, saya selamatkan. Saya tak sendiri. Seorang pemuda, Iwan, adik Pak Zairin, ikut membantu. Di tengah kekacauan itu, solidaritas manusia tetap hidup.
Kami bawa barang-barang itu ke Blok A. Secara bertahap. Secara diam-diam. Tapi hati saya masih terbakar seperti api yang tak kunjung padam.
Malam itu, ibu dan papa masih tertidur pulas. Mungkin karena lelah. Mungkin karena tidak tahu bahwa sebagian sejarah mereka sedang dilalap api. Mereka baru tahu pagi harinya, ketika semuanya sudah habis. Ludes.
“Tak ada sehelai pun baju tersisa,” ujar ibu, dengan mata berlinang.
Semua—kenangan, kerja keras, harapan—hangus dan hilang tak bersisa.
Dari Abu, Kami Bangkit
Pagi itu, matahari tetap terbit seperti biasa. Tapi bagi kami, dunia terasa gelap. Abu masih mengepul dari sisa-sisa bangunan pasar yang telah menjadi puing-puing. Bau hangus menempel di udara. Seakan waktu berhenti di sana, di antara papan-papan hangus dan besi bengkok yang pernah menjadi etalase harapan.
Papa dan Ibu hanya bisa memandang reruntuhan dengan mata kosong.
“Habis…,” bisik Ibu. “Tak ada sehelai pun baju tersisa.”
Saya tak kuasa bicara. Tubuh saya lelah, tapi hati saya lebih lelah. Tapi di tengah kesedihan yang menghitamkan langit, ada kabar yang membuat kami kembali mengangkat wajah:
“Barang Ibu selamat… Ada di Blok A.”
Saya masih ingat wajah Ibu saat mendengar kabar itu. Seperti hujan datang setelah musim kemarau. Matanya berkaca, tapi kali ini karena syukur, bukan semata duka.
Dan di sinilah titik balik itu terjadi.
⸻
Si Las, Pedagang Tangguh dari Kaki Lima
Tanpa menunggu waktu, istri saya—Zurtias, si Las—langsung kembali berdagang. Bukan lagi di toko mewah, tapi di pinggir jalan, kaki lima, beralaskan tikar, berpayung matahari.
Yang membuat saya kagum, bukan hanya keberaniannya, tapi semangatnya yang seolah tak pernah retak. Jualannya justru laris. Lebih ramai dari masa toko Paris. Pembeli datang bukan hanya karena barangnya, tapi juga karena aura Las—jujur, cekatan, dan senyum yang tak pernah hilang walau hati sedang berdarah.
Kami bekerja siang malam. Tak ada waktu untuk mengeluh. Hanya ada tekad: bangkit atau mati pelan-pelan.
Salam teriring doa. K Suheimi








